I’ll Always
Protect You
Oleh: Ananda
Debie Ikrar J.P.
"Berhenti
mengikutiku!" Teriakku kesal pada seorang laki-laki yang berjalan di sampingku.
Ia sedikit terhenyak mendengar teriakanku. Aku segera berlari pulang agar tak
diikuti lagi. Aku tahu, berkali-kali aku membentaknya, mendorongnya, tak
menghiraukannya bahkan tak mau melihatnya, ia tak pernah menyerah untuk mengikutiku.
"Aku tidak
akan berhenti mengikutimu sebelum kau mau memaafkanku.”
"Terserah."
Bahkan untuk sekadar melihat wajah melasnya aku enggan. Aku benci dia. Dia telah
membunuh ibuku. Dia yang menyebabkan ibuku meninggal. Anak Laki-laki dari keluarga
Lee yang kaya raya itu, seorang pembunuh. Aku bahkan benci keluarganya. Walau
kata ayah rasa benciku terlalu berlebihan, tapi aku tak peduli.
"Temuilah
Nyonya Lee sebentar, Min Hwa. Ia datang dengan niat baik." Aku mendengar suara
lembut ayah dari balik pintu kamarku yang terkunci. Aku yang saat itu sedang
belajar hanya memandang ke arah pintu dengan kesal. Untuk apa menemui mereka,
tidak penting.
"Min Hwa,
kau tidak kasihan telah membuat Nyonya Lee menunggu lama." Suara ayah tetap
lembut. Ia memang tak pernah membentak sekalipun sedang marah.
Aku berjalan
menuju ranjangku dan menghempaskan badanku lumayan keras hingga menimbulkan
surara dentuman. Kutarik selimut dan kututup telingaku dengan guling, aku ingin
tidur. Setelah beberapa saat, aku tak mendengar lagi suara ayah di balik pintu.
Keadaan juga hening. Mungkin Nyonya Lee sudah pulang.
Aku berdecak
kesal. Cuaca hari ini sangat mendung dan kabar buruknya aku lupa membawa
payung. Kalau seperti ini, aku harus segera berjalan lebih cepat untuk sampai
rumah sebelum turun hujan. Di tengah perjalanan, aku melihat Hyundai hitam
melaju perlahan di sampingku. Kaca mobil yang semula tertutup, perlahan-lahan terbuka.
Muncullah kepala seseorang dari dalam mobil itu dan ia menyapaku.
"Kita pulang
bersama saja. Lihat, cuaca sudah mendung, sebentar lagi hujan." Ia tersenyum
ramah. Aku menatapanya sinis. Tanpa kupedulikan ucapannya, aku segera berjalan lebih
cepat dari sebelumnya. Lebih baik aku basah kuyup kehujanan daripada harus
pulang bersama dengan laki-laki itu. Aku tahu tatapannya kembali sendu saat aku
berlalu tanpa menghiraukan ucapannya. Terserah.
Kebencianku padanya sampai kapanpun tidak akan pernah padam. Dia penyebab
masalah terumit dalam hidupku. Aku benci laki-laki itu.
"Yak! Eomma.
Sudah kubilang jangan ke sekolahku." Aku melihat salah seorang siswi
menyeret paksa seorang wanita paruh baya dari halaman depan sekolah. Sepertinya
wanita paruh baya itu adalah ibunya. Aku memperhatikannya dengan tatapan sinis.
"Aku benci Eomma. Eomma sudah
membuatku malu di hadapan teman-temanku. Jangan datang lagi ke sekolah."
Ia membentak sambil berkaca-kaca. Setelah itu, siswi yang membentak ibunya
tersebut berlalu pergi. Ibunya hanya diam. Ia terlihat terkejut mendengar
ucapan anaknya. Wanita paruh baya itu meneteskan air mata. Meski hatinya
terluka karena sikap putrinya, ia tetap tersenyum.
Aku melihat
sang ibu berbalik meninggalkan sekolah. Ia mengusap air matanya. Aku juga tak
mengerti, tiba-tiba saja air mataku menetes. Aku menangis, terluka melihat
kejadian itu. Aku tahu siapa gadis yang membentak ibunya tadi. Dia Park Hwa Young, teman
sekelasku. Aku segera menghampirinya ke kelas.
"Kau benar-benar
bodoh sudah membentak ibumu," ucapku dingin. Dia yang saat itu tengah
berbincang dengan teman-temannya langsung menoleh ke arahku. Ia tampak memicingkan
mata memandangku tak suka.
"Siapa dirimu
sampai berani ikut campur masalahku?"
"Seharusnya
kau baik pada ibumu."
"Terserah
padaku, aku mau baik atau membentaknya itu bukan urusanmu." Entah kenapa perasaanku
jadi tak terkendali. Aku langsung menamparnya. Ia terkejut dan segera berdiri.
"Apa-apaan
kau..."
"Kau tidak
mengerti bagaimana jika kau kehilangan dia. Ketika orang yang benar-benar mencintaimu
dengan tulus pergi meninggalkanmu, apa kau tidak tahu bagaimana sakitnya? Kau
jauh lebih beruntung dibandingkan aku. Setidaknya jangan menyia-nyiakan
keberuntungan itu. Kau tahu bagaimana rasanya kehilangan seorang ibu? Seperti
burung yang kehilangan satu sayapnya. Ia tak akan bisa terbang dengan sempurna.
Kau tahu, betapa baiknya ibumu itu. Beliau sudah susah payah memasakkan sup
rumput laut dan datang mengantarkannya sendiri padamu. Kau tidak paham juga
betapa ia begitu mengkhawatirkanmu."
Aku melihat
Hwa Young berkaca-kaca. Sedangkan aku, sudah dari tadi air mataku mengalir
deras. Aku tahu mungkin ini berlebihan, tapi aku tak bisa diam melihat seorang
ibu menangis sedih karena anaknya. Aku berlari keluar kelas setelah itu,
kutumpahkan segala rasa sedihku. Menangis sekencang-kencangnya. Aku melihat
tangan seseorang mengulurkan sapu tangan padaku. Aku mendongak melihat orang
itu. Begitu tahu siapa dia, aku segera membuang muka. Ia menatapku sedih.
"Maaf,"
ucapnya lirih. Tanpa bicara apapun pada laki-laki itu, aku bergegas pergi. Sudah
kubilang, aku membencinya.
"MinHwa,
kau tidak kasihan pada Jin Ki?" ucap Young Hee saat kami makan siang. Aku
hanya menunduk sambil tetap memakan makananku. Aku tak mau menjawab pertanyaan
konyol seperti itu.
"Dia selalu
mengikutimu, bukankah dia sangat baik? Apa dia menyukaimu?" Aku berhenti
sejenak dari kegiatan makan siangku.
"Ia tak
menyukaiku, ia hanya kasihan padaku," jawabku dingin. Setelah itu aku kembali
melanjutkan makan.
"Eh, itu
dia. Sepertinya dia mencarimu, Min Hwa. Lihat, dia menuju kemari."
"Min Hwa,
kau di sini." Setelah beberapa saat aku mendengar suara Jin Ki. Ia sudah
berdiri di sampingku dan mengambil posisi duduk di dekatku. Aku segera memakan makan
siangku lebih cepat dan pergi meninggalkannya. Ia hanya terbengong melihatku
beranjak pergi.
"Kenapa
cepat sekali? Lihat, makan siangmu bahkan belum habis." Tak kuhiraukan ucapannya.
Aku sudah tak nafsu makan lagi sekarang.
Saat pelajaran
olah raga, sebagai pemanasan, Guru Go menyuruh murid-murid berlari mengelilingi
lapangan.
“Min Hwa.”
Aku mendengar suara yang sangat kukenali memanggilku. Tapi tiba-tiba nasib
buruk sedang berpihak padaku. Aku yang saat itu tengah berlari keliling
lapangan tersandung karena tidak memperhatikan jalan.
“Auuu,” aku
memegang lututku yang berdarah. Jin Ki yang melihatku terjatuh segera berlari
menghampiriku.
“Min Hwa,
kau baik-baik saja?” Aku segera menepis tangannya yang hendak memapahku berdiri.
Aku berusaha berdiri sendiri, tapi kakiku terasa sangat sakit hingga membuatku
terjatuh lagi. Tanpa pikir panjang tiba-tiba Jin Ki langsung menggendongku.
“Yak! Apa
yang kau lakukan? Turunkan aku, Jin Ki!”
“Kau harus
dibawa ke UKS dulu. Kakimu sepertinya juga terkilir.”
Setelah sampai
di UKS, dia segera bertindak cepat mengambil obat merah dan perban untuk mengobati
lututku yang terluka. Aku berusaha menahan perih saat kapas putih menyentuh
luka di lututku. Kulihat Jin Ki beberapa kali meniup-niup luka itu.
“Maafkan aku,”
ucapnya sambil membalut lukaku dengan perban. Aku membuang muka tak mau melihatnya.
“Aku hanya
bisa mengobati luka di lututmu tapi aku tak bisa mengobati luka dihatimu.” Aku
melihat tatapan sendu di matanya.
Flashback
"Bibi,aku
ingin ikut." Terlihat Jin Ki kecil yang sedang menggandeng Min Hwa kecil
menghampiri Ibu Min Hwa yang hendak membeli kebutuhan rumah di swalayan.
"Jin Ki,
kau di rumah saja, ya? Bibi hanya sebentar."
"Tapi aku
ingin ikut, Bi." Ibu Min Hwa berpikir sejenak.
"Baiklah,
tapi nanti janji tidak akan nakal,"
"Iya,tentu
saja."
Ibu Min Hwa
kemudian mengajak Jin Ki dan Min Hwa pergi ke swalayan. Saat hendak menyeberang,
Jin Ki melihat penjual balon yang berada di taman kota. Ia tertarik dengan
balon-balon itu. Tanpa pikir panjang, ia berlari melewati penyeberangan
mendahului ibu Min Hwa dan juga Min Hwa kecil. Ia ingin segera menghampiri
penjual balon itu. Tapi tiba-tiba Jin Ki terjatuh di tengah penyeberangan.
"Jin Ki."
Ibu Min Hwa terlihat khawatir. Belum sempat ia menghampiri untuk membantu Jin
Ki berdiri, terlihat mobil melaju kencang menuju arah Jin Ki. Ibu Min Hwa yang
mengetahui hal tersebut, segera berlari membantu Jin Ki berdiri lalu
mendorongnya agar tak tertabrak mobil. Tapi justru Ibu Min Hwa sendirilah yang
tertabrak mobil. Min Hwa kecil yang saat itu berdiri tak jauh di belakang, hanya
bisa melihat dengan tatapan terkejut. Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri
bagaimana ibunya meninggal.
"Maafkan
aku, Bi." Jin Ki menatap nisan Ibu Min Hwa sambil meneteskan air mata.
"Gara-gara
aku, Bibi jadi meninggal. Aku janji, sampai kapanpun aku akan menjaga dan melindungi
Kim Min Hwa." Jin Ki meletakkan bunga di atas makam Ibu MinHwa.
"Yak! Berhenti
jadi sok jagoan di sini." Kulihat Jong Hyun menendang salah satu kursi dan
menghampiri bangku Kibum. Aku hanya berdecak kesal, mereka mulai lagi. Selalu
saja memperebutkan predikat yang paling kuat. Aku tahu akhirnya pasti berujung
dengan pertengkaran, perkelahian kemudian mereka akan dipanggil ke ruang guru.
Ini sudah ketiga kalinya mereka mendapat surat panggilan orangtua. Jika sekali
ini mereka membuat ulah, itu berarti mereka akan mendapat surat panggilan orang
tua untuk keempat kalinya.
Aku beranjak
keluar dari kelas untuk mencari kenyamanan suasana. Kutelusuri koridor kelas
yang lumayan sepi. Lalu aku lanjutkan berjalan di halaman depan sekolah. Aku berjalan
perlahan dan memandangi sekitar. Sejuk dan tenang, tidak seperti di kelas. Tapi
setelah beberapa saat, ketenangan itu hilang karena tiba-tiba saja dari atas
aku mendengar suara pecahan kaca bersamaan dengan kursi yang terlempar dari
jendela kaca tersebut. Itu dari jendela kelasku, mungkin tadi Jonghyun dan Kibum
bertengkar hebat.
Aku membulatkan
mata karena tersadar bahwa kursi itu jatuh tepat ke arahku. Belum sempat aku
menghindar, tiba-tiba seseorang menarik tanganku dan melindungiku di dekapannya.
Beberapa detik aku menyadari, aku sudah terhindar dari serpihan kaca dan kursi
yang terlempar dari jendela itu.
"Kau baik-baik
saja?" Ia bertanya khawatir. Begitu tahu itu Jin Ki, tatapanku berubah
menjadi sinis. Aku segera meninggalkannya tanpa mengucapkan sepatah katapun.
"Aku tadi
melihatmu berjalan melewati kelasku. Kupikir kau mau pergi kemana lalu aku mengikutimu."
Aku menghentikan langkahku dan terdiam sejenak.
"Berhenti
mengikutiku!" ucapku dingin. Baru beberapa langkah aku berjalan, tiba-tiba
aku mendengar suaranya berbicara. Hal itu membuat langkahku terhenti kembali.
"Aku tak
peduli apapun yang akan terjadi. Aku sudah janji pada bibi bahwa aku akan melindungi
dan menjagamu." Jin Ki terdiam sejenak.
"Aku mencintaimu,
Min Hwa. Bahkan sejak kita masih kecil dulu." Jantungku berdebar lebih
cepat dari biasanya. Aku membeku. Tapi beberapa saat kemudian, kebencian
kembali menguasai hatiku. Aku melangkah pergi tanpa sedikitpun menoleh padanya.
"Ibu, bagaimana
kabarmu? Aku merindukanmu." Kuletakkan bunga di atas makam ibu.
"Hari ini,
di sekolah banyak hal menyebalkan terjadi. Anak dari keluarga Lee, keluarga
tempat ibu bekerja dulu, aku membencinya." Aku mengusap air mata yang
tiba-tiba mengalir.
"Ibu, seandainya
ibu masih di sini, aku tak akan merasa terluka seperti sekarang." Aku
menangis terisak.
Aku menunggu
dengan tak sabar saat di penyeberangan karena lampu tak kunjung hijau. Aku
harus segera ke perpustakaan kota untuk meminjam buku. Kurogoh saku jaketku untuk
mengambil kalung pemberian ibu. Aku menghela nafas sambil memandanginya untuk
beberapa saat. Ibu, kadang aku merasa lelah. Tapi aku tak ingin menyerah. Setiap
kali aku lelah, setiap kali semangatku surut, aku akan memandang kalung ibu.
Aku masih ingat betul ketika ibu memberikan kalung itu padaku. Ibu tersenyum
lembut sambil memegang kedua pipiku.
"Janji pada
Ibu ya, jadilah anak yang baik dan hebat." Karena itulah, kalung
inimempunyai arti tersendiri bagiku.
"Nak, kau
tidak ingin menyeberang?" Suara wanita paruh baya menyadarkanku dari lamunan.
"Oh,iya."
Saat aku hendak berjalan, ada seseorang yang menyenggol tanganku hingga membuat
kalung yang aku pegang jatuh di tengah jalan. Karena panik, aku segera berlari
mengambil kalungku itu. Aku tak menyadari jika ada mobil yang melaju kencang ke
arahku. Sampai ada seseorang yang mendorongku dengan kencang. Aku terpental tak
jauh dari mobil yang hampir menabrakku tadi. Lalu lintas terhenti seketika
karena ada seseorang yang tertabrak. Seseorang itu jelas bukan aku, lalu siapa?
Aku segera
menghampiri kerumunan yang menyaksikan kejadian mengerikan itu. Aku membekap
mulutku begitu tahu itu adalah Lee Jin Ki.
"Jin Ki."
Aku segera menghampirinya.
"Bodoh,
apa yang kau lakukan?" Dalam keadaan lemah, dia masih bisa tersenyum.
"Sudah kubilang,
aku akan melindungimu." Entah kenapa air mataku tiba-tiba menetes.
"Bertahanlah."
"Setidaknya
aku bisa menepati janjiku pada bibi. Min Hwa, kau tahu, aku mencintaimu. Gadis kecil
yang dulu selalu tersenyum padaku, gadis kecil yang dulu ikut menangis ketika
aku terluka, gadis kecil yang ceria yang selalu bisa menguatkanku, gadis itu
adalah dirimu. Gadis yang telah membuatku jatuh cinta adalah dirimu. Aku takut
ketika kau membenciku.”
"Sudahlah
Jin Ki, jangan bicara dulu. Sebentar lagi ambulan datang."
"Maafka
naku, Min Hwa." Ia tersenyum. Sedetik kemudian matanya tertutup.
Selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar