Kamera pengintai

Selasa, 20 Januari 2015

CERPEN: I'LL ALWAYS PROTECT YOU


I’ll Always Protect You
Oleh: Ananda Debie Ikrar J.P.

"Berhenti mengikutiku!" Teriakku kesal pada seorang laki-laki yang berjalan di sampingku. Ia sedikit terhenyak mendengar teriakanku. Aku segera berlari pulang agar tak diikuti lagi. Aku tahu, berkali-kali aku membentaknya, mendorongnya, tak menghiraukannya bahkan tak mau melihatnya, ia tak pernah menyerah untuk mengikutiku.
"Aku tidak akan berhenti mengikutimu sebelum kau mau memaafkanku.”
"Terserah." Bahkan untuk sekadar melihat wajah melasnya aku enggan. Aku benci dia. Dia telah membunuh ibuku. Dia yang menyebabkan ibuku meninggal. Anak Laki-laki dari keluarga Lee yang kaya raya itu, seorang pembunuh. Aku bahkan benci keluarganya. Walau kata ayah rasa benciku terlalu berlebihan, tapi aku tak peduli.
"Temuilah Nyonya Lee sebentar, Min Hwa. Ia datang dengan niat baik." Aku mendengar suara lembut ayah dari balik pintu kamarku yang terkunci. Aku yang saat itu sedang belajar hanya memandang ke arah pintu dengan kesal. Untuk apa menemui mereka, tidak penting.
"Min Hwa, kau tidak kasihan telah membuat Nyonya Lee menunggu lama." Suara ayah tetap lembut. Ia memang tak pernah membentak sekalipun sedang marah.
Aku berjalan menuju ranjangku dan menghempaskan badanku lumayan keras hingga menimbulkan surara dentuman. Kutarik selimut dan kututup telingaku dengan guling, aku ingin tidur. Setelah beberapa saat, aku tak mendengar lagi suara ayah di balik pintu. Keadaan juga hening. Mungkin Nyonya Lee sudah pulang.
Aku berdecak kesal. Cuaca hari ini sangat mendung dan kabar buruknya aku lupa membawa payung. Kalau seperti ini, aku harus segera berjalan lebih cepat untuk sampai rumah sebelum turun hujan. Di tengah perjalanan, aku melihat Hyundai hitam melaju perlahan di sampingku. Kaca mobil yang semula tertutup, perlahan-lahan terbuka. Muncullah kepala seseorang dari dalam mobil itu dan ia menyapaku.
"Kita pulang bersama saja. Lihat, cuaca sudah mendung, sebentar lagi hujan." Ia tersenyum ramah. Aku menatapanya sinis. Tanpa kupedulikan ucapannya, aku segera berjalan lebih cepat dari sebelumnya. Lebih baik aku basah kuyup kehujanan daripada harus pulang bersama dengan laki-laki itu. Aku tahu tatapannya kembali sendu saat aku berlalu tanpa menghiraukan ucapannya. Terserah. Kebencianku padanya sampai kapanpun tidak akan pernah padam. Dia penyebab masalah terumit dalam hidupku. Aku benci laki-laki itu.
"Yak! Eomma. Sudah kubilang jangan ke sekolahku." Aku melihat salah seorang siswi menyeret paksa seorang wanita paruh baya dari halaman depan sekolah. Sepertinya wanita paruh baya itu adalah ibunya. Aku memperhatikannya dengan tatapan sinis.
"Aku benci EommaEomma sudah membuatku malu di hadapan teman-temanku. Jangan datang lagi ke sekolah." Ia membentak sambil berkaca-kaca. Setelah itu, siswi yang membentak ibunya tersebut berlalu pergi. Ibunya hanya diam. Ia terlihat terkejut mendengar ucapan anaknya. Wanita paruh baya itu meneteskan air mata. Meski hatinya terluka karena sikap putrinya, ia tetap tersenyum.
Aku melihat sang ibu berbalik meninggalkan sekolah. Ia mengusap air matanya. Aku juga tak mengerti, tiba-tiba saja air mataku menetes. Aku menangis, terluka melihat kejadian itu. Aku tahu siapa gadis yang membentak ibunya tadi. Dia Park Hwa Young, teman sekelasku. Aku segera menghampirinya ke kelas.
"Kau benar-benar bodoh sudah membentak ibumu," ucapku dingin. Dia yang saat itu tengah berbincang dengan teman-temannya langsung menoleh ke arahku. Ia tampak memicingkan mata memandangku tak suka.
"Siapa dirimu sampai berani ikut campur masalahku?"
"Seharusnya kau baik pada ibumu."
"Terserah padaku, aku mau baik atau membentaknya itu bukan urusanmu." Entah kenapa perasaanku jadi tak terkendali. Aku langsung menamparnya. Ia terkejut dan segera berdiri.
"Apa-apaan kau..."
"Kau tidak mengerti bagaimana jika kau kehilangan dia. Ketika orang yang benar-benar mencintaimu dengan tulus pergi meninggalkanmu, apa kau tidak tahu bagaimana sakitnya? Kau jauh lebih beruntung dibandingkan aku. Setidaknya jangan menyia-nyiakan keberuntungan itu. Kau tahu bagaimana rasanya kehilangan seorang ibu? Seperti burung yang kehilangan satu sayapnya. Ia tak akan bisa terbang dengan sempurna. Kau tahu, betapa baiknya ibumu itu. Beliau sudah susah payah memasakkan sup rumput laut dan datang mengantarkannya sendiri padamu. Kau tidak paham juga betapa ia begitu mengkhawatirkanmu."
Aku melihat Hwa Young berkaca-kaca. Sedangkan aku, sudah dari tadi air mataku mengalir deras. Aku tahu mungkin ini berlebihan, tapi aku tak bisa diam melihat seorang ibu menangis sedih karena anaknya. Aku berlari keluar kelas setelah itu, kutumpahkan segala rasa sedihku. Menangis sekencang-kencangnya. Aku melihat tangan seseorang mengulurkan sapu tangan padaku. Aku mendongak melihat orang itu. Begitu tahu siapa dia, aku segera membuang muka. Ia menatapku sedih.
"Maaf," ucapnya lirih. Tanpa bicara apapun pada laki-laki itu, aku bergegas pergi. Sudah kubilang, aku membencinya.
"MinHwa, kau tidak kasihan pada Jin Ki?" ucap Young Hee saat kami makan siang. Aku hanya menunduk sambil tetap memakan makananku. Aku tak mau menjawab pertanyaan konyol seperti itu.
"Dia selalu mengikutimu, bukankah dia sangat baik? Apa dia menyukaimu?" Aku berhenti sejenak dari kegiatan makan siangku.
"Ia tak menyukaiku, ia hanya kasihan padaku," jawabku dingin. Setelah itu aku kembali melanjutkan makan.
"Eh, itu dia. Sepertinya dia mencarimu, Min Hwa. Lihat, dia menuju kemari."
"Min Hwa, kau di sini." Setelah beberapa saat aku mendengar suara Jin Ki. Ia sudah berdiri di sampingku dan mengambil posisi duduk di dekatku. Aku segera memakan makan siangku lebih cepat dan pergi meninggalkannya. Ia hanya terbengong melihatku beranjak pergi.
"Kenapa cepat sekali? Lihat, makan siangmu bahkan belum habis." Tak kuhiraukan ucapannya. Aku sudah tak nafsu makan lagi sekarang.
Saat pelajaran olah raga, sebagai pemanasan, Guru Go menyuruh murid-murid berlari mengelilingi lapangan.
“Min Hwa.” Aku mendengar suara yang sangat kukenali memanggilku. Tapi tiba-tiba nasib buruk sedang berpihak padaku. Aku yang saat itu tengah berlari keliling lapangan tersandung karena tidak memperhatikan jalan.
“Auuu,” aku memegang lututku yang berdarah. Jin Ki yang melihatku terjatuh segera berlari menghampiriku.
“Min Hwa, kau baik-baik saja?” Aku segera menepis tangannya yang hendak memapahku berdiri. Aku berusaha berdiri sendiri, tapi kakiku terasa sangat sakit hingga membuatku terjatuh lagi. Tanpa pikir panjang tiba-tiba Jin Ki langsung menggendongku.
“Yak! Apa yang kau lakukan? Turunkan aku, Jin Ki!”
“Kau harus dibawa ke UKS dulu. Kakimu sepertinya juga terkilir.”
Setelah sampai di UKS, dia segera bertindak cepat mengambil obat merah dan perban untuk mengobati lututku yang terluka. Aku berusaha menahan perih saat kapas putih menyentuh luka di lututku. Kulihat Jin Ki beberapa kali meniup-niup luka itu.
“Maafkan aku,” ucapnya sambil membalut lukaku dengan perban. Aku membuang muka tak mau melihatnya.
“Aku hanya bisa mengobati luka di lututmu tapi aku tak bisa mengobati luka dihatimu.” Aku melihat tatapan sendu di matanya.
Flashback
"Bibi,aku ingin ikut." Terlihat Jin Ki kecil yang sedang menggandeng Min Hwa kecil menghampiri Ibu Min Hwa yang hendak membeli kebutuhan rumah di swalayan.
"Jin Ki, kau di rumah saja, ya? Bibi hanya sebentar."
"Tapi aku ingin ikut, Bi." Ibu Min Hwa berpikir sejenak.
"Baiklah, tapi nanti janji tidak akan nakal,"
"Iya,tentu saja."
Ibu Min Hwa kemudian mengajak Jin Ki dan Min Hwa pergi ke swalayan. Saat hendak menyeberang, Jin Ki melihat penjual balon yang berada di taman kota. Ia tertarik dengan balon-balon itu. Tanpa pikir panjang, ia berlari melewati penyeberangan mendahului ibu Min Hwa dan juga Min Hwa kecil. Ia ingin segera menghampiri penjual balon itu. Tapi tiba-tiba Jin Ki terjatuh di tengah penyeberangan.
"Jin Ki." Ibu Min Hwa terlihat khawatir. Belum sempat ia menghampiri untuk membantu Jin Ki berdiri, terlihat mobil melaju kencang menuju arah Jin Ki. Ibu Min Hwa yang mengetahui hal tersebut, segera berlari membantu Jin Ki berdiri lalu mendorongnya agar tak tertabrak mobil. Tapi justru Ibu Min Hwa sendirilah yang tertabrak mobil. Min Hwa kecil yang saat itu berdiri tak jauh di belakang, hanya bisa melihat dengan tatapan terkejut. Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana ibunya meninggal.
"Maafkan aku, Bi." Jin Ki menatap nisan Ibu Min Hwa sambil meneteskan air mata.
"Gara-gara aku, Bibi jadi meninggal. Aku janji, sampai kapanpun aku akan menjaga dan melindungi Kim Min Hwa." Jin Ki meletakkan bunga di atas makam Ibu MinHwa.
"Yak! Berhenti jadi sok jagoan di sini." Kulihat Jong Hyun menendang salah satu kursi dan menghampiri bangku Kibum. Aku hanya berdecak kesal, mereka mulai lagi. Selalu saja memperebutkan predikat yang paling kuat. Aku tahu akhirnya pasti berujung dengan pertengkaran, perkelahian kemudian mereka akan dipanggil ke ruang guru. Ini sudah ketiga kalinya mereka mendapat surat panggilan orangtua. Jika sekali ini mereka membuat ulah, itu berarti mereka akan mendapat surat panggilan orang tua untuk keempat kalinya.
Aku beranjak keluar dari kelas untuk mencari kenyamanan suasana. Kutelusuri koridor kelas yang lumayan sepi. Lalu aku lanjutkan berjalan di halaman depan sekolah. Aku berjalan perlahan dan memandangi sekitar. Sejuk dan tenang, tidak seperti di kelas. Tapi setelah beberapa saat, ketenangan itu hilang karena tiba-tiba saja dari atas aku mendengar suara pecahan kaca bersamaan dengan kursi yang terlempar dari jendela kaca tersebut. Itu dari jendela kelasku, mungkin tadi Jonghyun dan Kibum bertengkar hebat.
Aku membulatkan mata karena tersadar bahwa kursi itu jatuh tepat ke arahku. Belum sempat aku menghindar, tiba-tiba seseorang menarik tanganku dan melindungiku di dekapannya. Beberapa detik aku menyadari, aku sudah terhindar dari serpihan kaca dan kursi yang terlempar dari jendela itu.
"Kau baik-baik saja?" Ia bertanya khawatir. Begitu tahu itu Jin Ki, tatapanku berubah menjadi sinis. Aku segera meninggalkannya tanpa mengucapkan sepatah katapun.
"Aku tadi melihatmu berjalan melewati kelasku. Kupikir kau mau pergi kemana lalu aku mengikutimu." Aku menghentikan langkahku dan terdiam sejenak.
"Berhenti mengikutiku!" ucapku dingin. Baru beberapa langkah aku berjalan, tiba-tiba aku mendengar suaranya berbicara. Hal itu membuat langkahku terhenti kembali.
"Aku tak peduli apapun yang akan terjadi. Aku sudah janji pada bibi bahwa aku akan melindungi dan menjagamu." Jin Ki terdiam sejenak.
"Aku mencintaimu, Min Hwa. Bahkan sejak kita masih kecil dulu." Jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya. Aku membeku. Tapi beberapa saat kemudian, kebencian kembali menguasai hatiku. Aku melangkah pergi tanpa sedikitpun menoleh padanya.
"Ibu, bagaimana kabarmu? Aku merindukanmu." Kuletakkan bunga di atas makam ibu.
"Hari ini, di sekolah banyak hal menyebalkan terjadi. Anak dari keluarga Lee, keluarga tempat ibu bekerja dulu, aku membencinya." Aku mengusap air mata yang tiba-tiba mengalir.
"Ibu, seandainya ibu masih di sini, aku tak akan merasa terluka seperti sekarang." Aku menangis terisak.
Aku menunggu dengan tak sabar saat di penyeberangan karena lampu tak kunjung hijau. Aku harus segera ke perpustakaan kota untuk meminjam buku. Kurogoh saku jaketku untuk mengambil kalung pemberian ibu. Aku menghela nafas sambil memandanginya untuk beberapa saat. Ibu, kadang aku merasa lelah. Tapi aku tak ingin menyerah. Setiap kali aku lelah, setiap kali semangatku surut, aku akan memandang kalung ibu. Aku masih ingat betul ketika ibu memberikan kalung itu padaku. Ibu tersenyum lembut sambil memegang kedua pipiku.
"Janji pada Ibu ya, jadilah anak yang baik dan hebat." Karena itulah, kalung inimempunyai arti tersendiri bagiku.
"Nak, kau tidak ingin menyeberang?" Suara wanita paruh baya menyadarkanku dari lamunan.
"Oh,iya." Saat aku hendak berjalan, ada seseorang yang menyenggol tanganku hingga membuat kalung yang aku pegang jatuh di tengah jalan. Karena panik, aku segera berlari mengambil kalungku itu. Aku tak menyadari jika ada mobil yang melaju kencang ke arahku. Sampai ada seseorang yang mendorongku dengan kencang. Aku terpental tak jauh dari mobil yang hampir menabrakku tadi. Lalu lintas terhenti seketika karena ada seseorang yang tertabrak. Seseorang itu jelas bukan aku, lalu siapa?
Aku segera menghampiri kerumunan yang menyaksikan kejadian mengerikan itu. Aku membekap mulutku begitu tahu itu adalah Lee Jin Ki.
"Jin Ki." Aku segera menghampirinya.
"Bodoh, apa yang kau lakukan?" Dalam keadaan lemah, dia masih bisa tersenyum.
"Sudah kubilang, aku akan melindungimu." Entah kenapa air mataku tiba-tiba menetes.
"Bertahanlah."
"Setidaknya aku bisa menepati janjiku pada bibi. Min Hwa, kau tahu, aku mencintaimu. Gadis kecil yang dulu selalu tersenyum padaku, gadis kecil yang dulu ikut menangis ketika aku terluka, gadis kecil yang ceria yang selalu bisa menguatkanku, gadis itu adalah dirimu. Gadis yang telah membuatku jatuh cinta adalah dirimu. Aku takut ketika kau membenciku.”
"Sudahlah Jin Ki, jangan bicara dulu. Sebentar lagi ambulan datang."
"Maafka naku, Min Hwa." Ia tersenyum. Sedetik kemudian matanya tertutup.

Selesai



Tidak ada komentar:

Posting Komentar