Resensi
Novel
Judul Buku : Di Kaki Bukit Cibalak
Pengarang : Ahmad Tohari
Penerbit :
PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2005
Jumlah Halaman : 176 halaman, ukuran 18 cm
Buku
yang dikarang oleh Ahmad Tohari yang berjudul “Di Kaki Bukit Cibalak” ini
adalah termasuk buku jenis nonfiksi. Di dalam buku ini, tokoh utama
memperlihatkan sikap anak muda yang sangat jarang ditemui pada masa sekarang
ini. Dengan penuh keberanian dan kejujuran, tokoh utama tetap berpegang teguh
pada kebenaran meski ia dipersulit oleh berbagai pihak karena keteguhannya itu.
“Di
Kaki Bukit Cibalak” adalah novel pertama yang ditulis oleh Ahmad Tohari yang
terbit di harian KOMPAS pada akhir tahun 1979. Karya-karyanya yang juga telah
diterbitkan yaitu seperti trilogi Ronggeng
Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus Dini Hari (1985), Jentera Bianglala (1986).
Trilogi ini bahkan sudah terbit dalam edisi bahasa Jepang, Jerman, dan Belanda.
Novel
ini menceritakan Desa Tanggir pada tahun 70-an yang mengalami perubahan seiring
perkembangan teknologi. Di desa yang sedang mengalami perubahan tersebut,
muncul permasalahan akibat terpilihnya lurah yang tidak jujur.
Seorang
pemuda berusia 24 tahun yang bernama Pambudi adalah pemuda jujur yang
benar-benar menginginkan kesejahteraan di desanya. Dinding pembatas antara
Pambudi dengan lurah Desa Tanggir yang baru mulai muncul saat Mbok Ralem, salah
satu warga Desa Tanggir yang meminta pinjaman pada koperasi desa untuk berobat
tidak diizinkan oleh Lurah Tanggir yang bernama Pak Dirga.
Pambudi
yang bekerja sebagai pengurus koperasi merasa kalau ada sesuatu yang tak beres
mengenai penolakan Pak Dirga. Pambudi akhirnya memutuskan untuk membantu Mbok
Ralem berobat ke Yogyakarta. Di sinilah awal petualangan Pambudi dimulai.
Pambudi menemui pihak Kalawarta, yaitu penerbit surat kabar yang berada di
Yogyakarta yang nantinya akan berperan besar dalam tujuannyan melawan
kecurangan Lurah Tanggir.
Sekembalinya
ke desa, Pambudi dihadapkan dengan masalah yang mengharuskannya pergi dari
desa. Karena masalah ini pula, Ia bahkan harus meninggalkan gadis yang
dicintainya. Gadis itu bernama Sanis, kembang desa di Desa Tanggir. Pambudi
memutuskan pergi keYogyakarta dan di sinilah ia memulai motivasi hidup yang
baru bersama teman seperjuangan semasa SMA yang bernama Topo.
Di
Yogyakarta setelah melalui beberapa pertimbangan dan dorongan dari sahabatnya,
Pambudi memutuskan untuk berkuliah. Ia juga bekerja di sebuah toko arloji dan
di sinilah ia bertemu Mulyani., anak dari pemilik toko arloji tersebut.
Sementara
Pambudi di Yogyakarta, banyak hal yang terjadi di desa. Salah satunya adalah
Sanis , gadis yang dicintainya dinikahi oleh Pak Dirga. Hal ini membuat harapan
Pambudi untuk bersanding dengan Sanis lebur. Namun, seiring dengan berjalannya
waktu, luka di hati Pambudi lambat laun menghilang. Terlebih kehadiran Mulyani
yang selalu memberi warna di hari-harinya.
Novel
ini dapat memberikan pelajaran kepada pembaca bahwa kebenaran dan kejujuran
dapat mengalahkan ketidakadilan. Dengan bahasa yang mudah dipahami, pengarang
juga memaparkan cerita dengan sederhana namun langsung mengena. Namun, dalam
cerita ini terdapat banyak konflik yang masih terkesan datar.
Secara
keseluruhan novel ini sangat menarik. Perjuangan Pambudi patut dijadikan
teladan bagi pembaca untuk bisa menjadikan diri sendiri dan orang lain di
sekitar kita hidup dalam kesejahteraan lahir dan batin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar