Kamera pengintai

Kamis, 15 Januari 2015

RESENSI NOVEL: DI KAKI BUKIT CIBALAK


Resensi Novel

Judul Buku                  : Di Kaki Bukit Cibalak
Pengarang                   : Ahmad Tohari
Penerbit                       : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit                : 2005
Jumlah Halaman          : 176 halaman, ukuran 18 cm

Buku yang dikarang oleh Ahmad Tohari yang berjudul “Di Kaki Bukit Cibalak” ini adalah termasuk buku jenis nonfiksi. Di dalam buku ini, tokoh utama memperlihatkan sikap anak muda yang sangat jarang ditemui pada masa sekarang ini. Dengan penuh keberanian dan kejujuran, tokoh utama tetap berpegang teguh pada kebenaran meski ia dipersulit oleh berbagai pihak karena keteguhannya itu.
“Di Kaki Bukit Cibalak” adalah novel pertama yang ditulis oleh Ahmad Tohari yang terbit di harian KOMPAS pada akhir tahun 1979. Karya-karyanya yang juga telah diterbitkan yaitu seperti trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus Dini Hari (1985), Jentera Bianglala (1986). Trilogi ini bahkan sudah terbit dalam edisi bahasa Jepang, Jerman, dan Belanda.
Novel ini menceritakan Desa Tanggir pada tahun 70-an yang mengalami perubahan seiring perkembangan teknologi. Di desa yang sedang mengalami perubahan tersebut, muncul permasalahan akibat terpilihnya lurah yang tidak jujur.
Seorang pemuda berusia 24 tahun yang bernama Pambudi adalah pemuda jujur yang benar-benar menginginkan kesejahteraan di desanya. Dinding pembatas antara Pambudi dengan lurah Desa Tanggir yang baru mulai muncul saat Mbok Ralem, salah satu warga Desa Tanggir yang meminta pinjaman pada koperasi desa untuk berobat tidak diizinkan oleh Lurah Tanggir yang bernama Pak Dirga.
Pambudi yang bekerja sebagai pengurus koperasi merasa kalau ada sesuatu yang tak beres mengenai penolakan Pak Dirga. Pambudi akhirnya memutuskan untuk membantu Mbok Ralem berobat ke Yogyakarta. Di sinilah awal petualangan Pambudi dimulai. Pambudi menemui pihak Kalawarta, yaitu penerbit surat kabar yang berada di Yogyakarta yang nantinya akan berperan besar dalam tujuannyan melawan kecurangan Lurah Tanggir.
Sekembalinya ke desa, Pambudi dihadapkan dengan masalah yang mengharuskannya pergi dari desa. Karena masalah ini pula, Ia bahkan harus meninggalkan gadis yang dicintainya. Gadis itu bernama Sanis, kembang desa di Desa Tanggir. Pambudi memutuskan pergi keYogyakarta dan di sinilah ia memulai motivasi hidup yang baru bersama teman seperjuangan semasa SMA yang bernama Topo.
Di Yogyakarta setelah melalui beberapa pertimbangan dan dorongan dari sahabatnya, Pambudi memutuskan untuk berkuliah. Ia juga bekerja di sebuah toko arloji dan di sinilah ia bertemu Mulyani., anak dari pemilik toko arloji tersebut.
Sementara Pambudi di Yogyakarta, banyak hal yang terjadi di desa. Salah satunya adalah Sanis , gadis yang dicintainya dinikahi oleh Pak Dirga. Hal ini membuat harapan Pambudi untuk bersanding dengan Sanis lebur. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, luka di hati Pambudi lambat laun menghilang. Terlebih kehadiran Mulyani yang selalu memberi warna di hari-harinya.
Novel ini dapat memberikan pelajaran kepada pembaca bahwa kebenaran dan kejujuran dapat mengalahkan ketidakadilan. Dengan bahasa yang mudah dipahami, pengarang juga memaparkan cerita dengan sederhana namun langsung mengena. Namun, dalam cerita ini terdapat banyak konflik yang masih terkesan datar.
Secara keseluruhan novel ini sangat menarik. Perjuangan Pambudi patut dijadikan teladan bagi pembaca untuk bisa menjadikan diri sendiri dan orang lain di sekitar kita hidup dalam kesejahteraan lahir dan batin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar